Seperti beberapa kalimat menyentuh yang sering aku
temukan di beberapa situs, tentang cinta. Bagaimana seseorang akan menyerah
dalam cinta pada akhirnya. Bagaimana logika akan takluk dengan hadirnya. Dan
cinta itu yang akan membuat segala kerumitan menjadi sangat sederhana. Atau
sebaliknya. Manusia seperti aku, kamu, siapapun itu, hanya bisa bertanya dan
menjawabnya sendiri dengan berbagai perkiraan. Bagaimana akhir dari perjalanan
yang sebelumnya disebut cinta olehnya. Pada akhirnya, keadaan adalah titik di
mana mereka akan menyerah, dan memutuskan untuk tidak pernah peduli dengan
cinta. Seandainya aku bertanya tentang arti cinta pada diriku sendiri, mampukah
aku menjawabnya? Setahuku, dengan berbagai perkiraan yang ada, aku tidak
benar-benar mengerti akan maknanya. Satu, ketika kita mengusahakan yang terbaik
bagi hidupannya dan terus berusaha memantaskan diri menjadi yang terbaik di sisinya,
itu cinta. Dua, menyebut namannya selalu dalam doa seusai dua kali salam tanpa
berharap dia melakukan hal yang sama, itu cinta. Tiga, empat, lima, dan
seterusnya adalah penentu, seberapa dalam kita memaknainya. Dan aku belum
menemukannya. People has their own
thought about it, just figure it out.
Aku mengenalnya belum cukup lama. Awalnya, aku
tertarik akan parasnya, di mana tidak ada manusia yang buta akan pandangan
pertama dalam hal ini. Kemudian berlanjut pada perbincangan singkat dunia maya
yang semakin lama terbuka dan bukan hanya paras sebabku tertarik padanya.
Dengan pikiran yang sama akan kegagalan-kegagalan lawas yang sebelumnya pernah
terjadi, aku tidak berharap sosok cinta yang rumit itu hadir di hati. Wait, like I said, it’s not a love, yet.
Ada pemisah antara aku dan dia untuk beberapa saat, bukan jarak, karena dunia
maya membantu kami saling mengenal. Pemisah itu aku namai, waktu. Pada
akhirnya, kami bertemu pada satu titik, jarak nol kilometer, dan pada detik
yang sama. Dia menjabat tanganku, begitupun aku. Seperti sudah mengenalnya
lebih lama, aku berbincang dengannya, mengenai hidupnya, mengenai hidupku. It’s not a love, yet.
Lagi-lagi, musuh kami adalah waktu. Aku tinggal
menunggu. Dan aku tidak peduli tentang dia terhadapku. Yang bisa kulakukan
hanyalah berdoa, kusebut namanya selepas nama ibu dan ayahku. “Tuhan, beri dia
bahagia, bersama orang yang tepat yang mampu memahaminya, dan berjalan
bersamanya menuju kebenaran-Mu.”
Dari satu atau dua, mungkin kau menemukan maknanya. But all I knew, cinta tidak sesederhana
itu. Karena tiga, empat, lima, dan seterusnya belum kutemukan. Siapa tahu, itu
membuatnya menjadi sederhana. As far,
it’s not a love, yet.